Pidana Mati

"Pidana Mati: Melegalkan hukuman mati melalui KUHP dan UU, sebagai upaya terakhir memberi hukuman terberat kepada pelaku tindakan pidana."

Hukuman Mati adalah vonis terhadap seseorang yang dijatuhkan melalui atau tanpa pengadilan, akibat perbuatannya sebagai sebuah bentuk hukuman terberat.

Hukuman Mati telah dikenal di Nusantara sejak era kejayaan kerajaan Majapahit, Hindu dan Islam serta beberapa Hukum Adat.
Di era penjajahan, Hindia Belanda mulai memberlakukan Hukuman Mati pada 1 Januari 1918 melalui Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Di era paska kemerdekaan, Pada 26 Februari 1946, Pemerintah memberlakukan UU (Undang-undang) No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), namun hanya berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura saja.
Pada 20 September 1958 diberlakukan UU No.73 Tahun 1958, tentang pemberlakuan UU No.1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah RI dan mengubah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Pemberlakuan Hukuman Mati tercantum dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo (Junto) Pasal 11 KUHP.
KUHP dan UU telah melegalkan Hukuman Mati sebagai sebuah bentuk hukuman pidana yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1918, sehingga kerap disebut juga sebagai Pidana Mati.

Sebagai sebuah bentuk hukuman pidana dengan sanksi terberat, Pidana Mati merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) yang harus dilakukan secara hati-hati, penuh pertimbangan yang komprehensif dan mendasar, dengan tujuan sebagai berikut:
# Teori Pembalasan/Retributivism oleh Kant:
sebagai upaya pembalasan terhadap perbuatan terpidana.
# Teori Menakut-nakuti/Utilitarian oleh Feurbach:
sebagai upaya membuat seseorang merasa takut dan jera untuk melakukan tindak kejahatan.

Bentuk tindakan pidana dengan ancaman Pidana Mati menurut KUHP, diantaranya:
# Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden (KUHP Pasal 104).
# Membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang (KUHP Pasal 111 ayat (2)).
# Membantu musuh waktu perang (KUHP Pasal 124 ayat (1)).
# Menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan huru-hara (KUHP Pasal 124 bis).
# Makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut (KUHP Pasal 140 ayat (3)).
# Pembunuhan berencana (KUHP Pasal 340).
# Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati (KUHP Pasal 365 ayat (4)).
# Pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang mengakibatkan kematian (KUHP Pasal 444).
# Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan (KUHP Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2)).
Bentuk tindakan pidana dengan ancaman Pidana Mati menurut UU, diantaranya:
# Senjata Api (UU No.12 Tahun 1951).
# Pengadilan HAM/Hak Asasi Manusia (UU No.26 Tahun 2000).
# Korupsi (UU No.20 Tahun 2001).
# Teroris (UU No.15 Tahun 2003).
# Narkotika (UU No.35 Tahun 2009).

Berdasarkan pemungutan suara yang pernah dilakukan oleh salah satu media di Indonesia tentang kontroversi Pidana Mati di Indonesia:
# 75% peserta merupakan Pihak Pendukung Pidana Mati (Retensionist).
# 25% peserta merupakan Pihak Penentang Pidana Mati (Abolisionist).
Menurut Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28I ayat (1):
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun."
Pernyataan -Hak untuk hidup- tersebut menjadi salah satu hal yang turut mewarnai kontroversi Pidana Mati di Indonesia, karena beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di tingkat lebih rendah dari UUD 1945 justru tidak sejalan, dengan masih tetap dicantumkannya ancaman Pidana Mati.

Menurut data Kontras tahun 2015, terdapat total 137 Vonis (Putusan Hakim) terkait Pidana Mati, dengan rincian kasus sebagai berikut:
# 69 Vonis untuk Kasus Pembunuhan.
# 66 Vonis untuk Kasus Narkoba.
# 2 Vonis untuk Kasus Terorisme.
Eksekusi (Pelaksanaan Putusan Hakim) dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati, dengan rincian tata cara pelaksanaannya, sesuai yang tercantum dalam UU No.2/PNPS/1964 Pasal 2 hingga Pasal 16 (di lingkungan peradilan umum) dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.12 Tahun 2010.
Menurut data Kontras tahun 2013, sejak tahun 1979 terdapat setidaknya 70 orang telah dieksekusi mati di Indonesia.
Terdapat setidaknya 2 (dua) kejadian eksekusi yang cukup menonjol, diantaranya adalah Eksekusi Pidana Mati terhadap:
# Amir Sjarifuddin (Mantan PM/Perdana Menteri), telah dieksekusi mati pada 5 Desember 1948.
# Imam Samudra dan Ali Ghufron (Pelaku Bom Bali tahun 2002), telah dieksekusi mati pada tahun 2008.

Dengan demikian, maka pada 1 Januari 2015, Pidana Mati di Indonesia telah mencapai usianya yang ke-97 tahun.

Referensi: Diolah dari berbagai sumber.

KlikAlam.Com - kindness for all ;)

No comments :

Post a Comment

ContactForm

Name

Email *

Message *